CERPEN : "Segumpal Kapuk Kebahagiaan" (Mutiara Putri Pembayun)
Namaku Irah. Aku adalah gadis berusia 14 tahun. Gen ibu mengalir dalam tubuhku. Jika dibandingkan dengan anak seumuran denganku, aku termasuk anak dengan badan tinggi. Rambutku lurus seperti rambut ibuku. Kulitku berwarna putih cemerlang. Hidungku mancung dengan mata yang sipit. Ketika aku tersenyum, pipiku akan lesung dan mataku semakin sempit.
Dalam kondisi terpejam, aku membuat bayangan akan kesenangan dalam khayal yang membawaku menemui kantuk hingga tanpa sadar aku telah tertidur dan terlelap diatas segala beban yang harus kupikul sendiri.
Aku telah puas menikmati alam mimpi yang begitu indah seperti mampu menyihir hidupku yang penuh dengan kerumitan menjadi sebuah kehidupan yang terkeliling oleh bahagia nan nyata. Sedikit demi sedikit mataku mulai membuka. Pandanganku masih buram. Aku terus menatap kedepan hingga pandanganku normal. Kemudian aku bergegas bangun dari tempat tidur untuk pergi mengambil wudhu lalu shalat Shubuh.
Seusai shalat Shubuh, aku bergegas membuka daun jendela kamar. Udara pagi terasa menusuk tulangku. Aku sedikit menggigil. Kuraih kain panjang yang tergantung di balik pintu dan kubebarkan di atas bahuku. Terasa lebih hangat, gumamku.
Terdengar ketukan pintu dari luar rumah. Ternyata Bi Warni, adik bungsu almarhumah ibu, membawakanku sepiring nasi goreng buatannya. Kusambut sepiring nasi goreng hangat itu dan kuletakkan di meja.
“Kamu pasti kedinginan, Ira. Bukankah sejak tadi malam udara terasa lebih dingin.” Tanyanya sambil duduk disampingku.
“Iya, Bi. Memang sejak tadi malam udara terasa lebih dingin dari biasanya. O iya, Bi. Bibi rajin sekali, di pagi buta seperti ini sudah selesai memasak.”
“Oh, itu karena Pamanmu akan pergi melaut, jadi Bibi bangun dan masak lebih pagi. Ya sudah kalau begitu, Bibi pulang dulu, nasi gorengnya jangan lupa dimakan sebelum pergi sekolah.” Ujar Bi Warni sambil membuka pintu akan pulang kerumahnya.
Bibiku itu memang tinggal di sebelah rumahku. Seringkali ia menghantarkan makanan seperti tadi. Mungkin ia merasa memiliki tanggung jawab mengurusku, mengurus koponakannya ini. Apalagi keponakan yang hidup tanpa orang tua, yang telah ditinggal mati oleh ibu dan ayahnya, dan tak memiliki biaya dan penghasilan untuk memenuhi kehidupannya. Namun, aku tak ingin menyulitkannya. Aku tahu tanpa mengurusku pun ia sudah sulit untuk mengurusi biayanya, seorang anak perempuannya dan suaminya. Tiba-tiba lamunanku buyar oleh sinar mentari. Mentari yang menyapa pagiku. Sinarnya menembus setiap lubang bilik rumahku dan menebarkan hangat keseluruh penjuru bumi.
Lalu, akupun bergegas mandi dan bersiap untuk berangkat ke sekolah. Seteleh menyiapkan segala yang akan kubawa ke sekolah, kulahap nasi goreng pemberian Bibi dengan tanpa sisa. Kubereskan bekas makanku dan melangkah kearah depan rumahku lalu segera menyorongkan sepatu sekolahku yang telah usang itu. Kemudian pergi meninggalkan rumah.
Tak jauh kakiku melangkah menjauh dari rumah, terdengar panggilan dari belakangku.
“Irah.. Irah. Tunggu aku.” Teriaknya sambil melambaikan tangan padaku. Tergopoh-gopoh ia berlari mengejarku. Dengan sigap aku menghentikan langkahku untuk menunggunya.
“Eh, Nisa. Ayo berjalanlah lebih cepat. Nanti kita terlambat.” Ujarku sambil menarik tangannya dan mengajaknya untuk lebih cepat. Hingga tak terasa tibalah kami di sekolah. Beberapa saat tiba disekolah, langsung terdengarlah suara bell, pertanda kelas akan dimulai. Rumah kami memang agak jauh dari sekolah. Jadi kami harus datang lebih pagi agar tidak terlambat tiba di sekolah.
Aku memulai pelajaran dengan doa memohon agar mendapat pengertian dari apa yang kudapatkan di sekolah ini. Dengan segenap semangat dan tekad yang kuat aku mengikuti setiap mata pelajaran dengan harapan dapat berguna untuk masa depanku yang dapat merubah hidupku dari orang rendahan seperti ini dapat menjadi junjungan negara dan kedua orang tuaku di alam sana.
Satu demi satu pelajaran telah kulewati, hingga suara bell tanda waktunya pulang pun berbunyi.
Setelah melangkah keluar dari kelas, lagi-lagi aku terkaget.
“Hey Irah.” Teriak Nisa tepat di telingaku. Aku pun terperanjat hingga meloncat, kaget.
“Nisaaaa, sepertinya kamu senang sekali mengagetkan orang.” Bicaraku sambil menunjukkan wajah kesal. Namun, ia hanya menanggapi perkataanku dengan senyum seperti tak bersalah. Lalu, memulai pembicaraannya.
“Irah, tadi disekolah aku merasa kesulitan mengikuti pelajaran Bahasa Inggris. Tapi aku melihatmu seperti mahir sekali dalam mengerjakan tugasnya bahkan dalam berbicara Bahasa Inggris.”
“Ah, kau tidak usah berlebihan. Aku hanya sering membaca bukunya saja.”
“Benarkah? Bagaimana kalau nanti aku datang kerumahmu untuk belajar.”
“Boleh saja, datanglah kerumahku agar kita dapat belajar bersama. Lagipula, aku kesepian dirumah sendirian. Kau bisa sekaligus menemaniku.” Jawabku sambil tersenyum senang.
Langkah demi langkah aku menapakkan kaki menuju rumah. Tibalah aku di rumah, istana reot hasil jerih payah almarhum orang tuaku. Perlahan kukeluarkan kunci dari tas dan membuka pintu istana itu. Lekas aku bertukar pakaian lalu makan siang dengan lauk seadanya yang baru kumasak sebelum makan.
Tak lama aku selesai melahap seluruh nasiku, terdengarlah suara ketukan pintu disertai suara Nisa.
“Assalamualaikum. Ira, kau ada di rumah bukan?”
“Waalaikumsalam. Nisa, tepat waktu sekali kau datang.” Kataku sambil tersenyum kepada Nisa yang sepertinya sedang keberatan dengan tasnya.
“Ayo masuklah, agar kita lebih cepat mulai belajarnya.” Kataku sambil mempersilahkannya masuk. Kami pun memulai belajar bersama. Awalnya, kami belajar serius. Setelah beberapa jam belajar, akhirnya kami merasa bosan. Tiba-tiba Nisa bertanya, “Irah, kamu kok bisa pintar sekali? Padahal kamu tidak pernah membeli buku cetak. Sedangkan teman-teman kita anak orang kaya yang punya segalanya, tidak sepintar kamu. Apa rahasianya supaya pintar sepertimu?” katanya dengan wajah ingin tahu.
“Sebenarnya, aku tidak memiliki rahasia belajar seperti itu. Aku hanya mencoba untuk serius ketika sedang belajar di sekolah dan memperhatikan apa yang diajarkan oleh guru. Terkadang aku mencatat hal-hal yang menurutku penting. Karena aku sadar, aku tak sanggup jika harus membeli buku cetak yang menurutku harganya cukup mahal.”
“Tapi kan kamu punya Bibi disini. Jadi, kamu dapat meminta bantuan kepadanya untuk membelikanmu buku cetak.”
“Aku bertekad bahwa aku takkan menyulitkan siapapun di dunia ini hanya untuk mengurusku dan memanjakanku dibalik perjuangan keras mereka. Aku tak ingin berpangku tangan dengan orang lain, karena menurut yang aku tahu bahwa yang bertanggung jawab atas aku adalah orang tuaku. Tapi mereka telah tiada, jadi mau tak mau aku harus membiayai hidupku sendiri. Aku tak ingin jika Bibi menjadi terbebani karenaku.” Jawabku meyakinkannya.
“Irah, aku bangga memiliki teman sepertimu. Prinsipmu kuat dan kau adalah anak yang mandiri. Kudoakan semoga kelak kau dapat berhasil dan mengejar impianmu.”
“Terima kasih Nisa, kau memang sahabat terbaikku.”
Setelah cukup lama kami berbincang dengan topik yang mengharukan tersebut. Akhirnya Nisa memutuskan untuk pulang, karena haripun sudah beranjak sore. Aku merasa bahagia dan bangga dapat berbagi pelajaran dengannya. Tak hanya pelajaran, namun aku telah berbagi pengalaman yang sungguh luar biasa. Aku pun masuk kerumah dengan senyum sumringah dan rasa bangga.
Pada suatu hari, aku mendapat kabar bahwa Bibiku, suami dan anaknya harus pulang ke kampung halaman suaminya selama beberapa minggu. Karena ayah suaminya sedang sakit keras. Dan ia harus pulang untuk merawat ayahnya hingga sembuh.
Tiga hari setelah Bibi pergi. Saat itu di rumahku sudah tidak ada lagi persediaan makanan secuilpun. Akibatnya sejak pagi aku harus menahan lapar hingga pulang sekolah. Menyadari bahwa aku harus berusaha untuk mendapatkan makanan. Kemudian aku berjalan kasana kemari untuk mencari sesuatu yang dapat dikerjakan lalu mendapat upah untuk membeli makanan. Namun kenyataanya tak semudah apa yang kupikirkan. Hingga tengah malam akupun belum mendapatkan pekerjaan bahkan makanan.
Dalam kegelapan malam, aku membelah kesunyian malam dipinggir jalan raya perkotaan yang mulai menyepi. Aku melangkahkan kaki di atas kerikil jalanan. Angin berhembus begitu syahdu, menyapu debu dan dedaunan yang runtuh dari induknya. Perutku menahan lapar sejak pagi hingga tengah malam seperti ini. Tiba-tiba muncul dalam benakku untuk meminta makanan kepada orang lain. Meskipun nuraniku menolak untuk meminta-minta namun jasmaniku sudah tak mampu menahan perih yang kurasakan. Langkah demi langkah aku menapakkan kaki. Tibalah aku didepan sebuah rumah, terlihat seorang wanita sedang membuka pintu dan akan masuk kedalam rumah. Dengan cepat aku berlari kearahnya.
“Bu, tolonglah saya. Tak ada makanan yang dapat sya makan malam ini.” Pintaku dengan penuh harapan.
Wanita itupun menjawab “Aku sama sekali tak punya makanan. Tapi aku punya sebuah boneka untukmu, ambillah ini buatanku!” Ujar wanita itu.
“Boneka itu tak bisa kumakan bu.” Ujarku dengan memperlihatkan wajah bingung.
“Juallah! Kau pasti mendapat uang”
Sejenak, aku merasa ragu. Akan tetapi, akhirnya boneka itu kuterima juga. Lalu, aku segera pergi setelah mengucapkan terima kasih. Lalu aku mejual boneka itu, dan hasilnya kubelikan makanan. Seletah perutku terisi setelah seharian menahan lapar. Tiba-tiba muncullah ide dalam benakku. Ide itu berasal dari boneka yang di berikan wanita yang telah menolongku tadi. Hingga bertahun-tahun aku menjalankan ide cemerlangku tadi sampai akhirnya berhasil.
***
Sepuluh tahun berlalu begitu cepat. Wanita yang pernah menolongku itu mungkin telah melupakan peristiwa itu. Hingga pada suatu hari. Di sore yang cerah, terlihat wanita itu baru pulang bekerja. Ketika di belokan jalan menuju rumahnya. Ia dibuat heran bukan kepalang. Tampak sebuah mobil elit mengkilap berwarna gelap terparkir di depan rumahnya. Dalam hatinya penuh tanda tanya. Siapakah gerangan pemilik mobil mewah itu.
Saat ia masuk ke dalam rumahnya. Di ruang tamunya tampak seorang wanita berkulit putih mulus bagai porselen duduk di kursi rongsoknya itu. Dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya, ia bertanya “Maaf, apakah sya pernah mengenal Nona?” tanyanya dengan penuh rasa bingung.
“Mungkin ibu sudah melupakan kejadian itu.” Ujarku sambil membalas senyam manisnya. Aku pun melanjutkan pembicaraanku “Kita pernah bertemu hanya sekejap bertahun-tahun lalu. Dulu, ketika aku masih kecil, aku pernah meminta makanan di malam hari kepada ibu karena aku tak memiliki makanan untuk kumakan. Namun, ibu memberiku boneka beruang buatan ibu. Ibu memberi saran agar aku menjualnya. Tak kuduga boneka itu laku. Sebagian uang kugunakan untuk membeli roti. Dan tiba –tiba muncul ide dalam benakku untuk menggunakan sisanya dijadikan modal usaha. Awal mulanya aku membeli kapuk dengan sisa uang itu. Lalu kapuk itu kujadikan boneka yang kubungkus dengan kain gandum yang kuminta di warung. Ternyata usahaku berkembang hingga bisa mendirikan kios kecil. Keuntungan dari penjualan boneka-boneka buatanku kugunakan untuk biaya makan dan sekolahku hingga sekarang aku telah lulus kuliah S2. Sekarang usahaku berkembang pesat menjadi lebih maju. Saya punya tanah sendiri, toko boneka yang besar dan usaha yang lain.” Jelasku dengan panjang lebar.
“Ibu tak menyangka, kau bisa sesukses ini nak. “
“ini semua berkat ibu. Dengan boneka kapuk keberuntungan dari ibu itulah aku memulai segalanya.”
Ibu itu tersenyum mendengar perkataanku. Sekarang ia ingat semuanya. Rupanya boneka kapuk pemberiannya telah berhasil mengubah hidup seseorang. Ditepuknya pundakku sambil berkata serius “Tanpa semangat dan kerja kerasmu, boneka itu takkan berarti apa-apa.”
Dengan ini aku telah menunjukkan perjuangan kerasku yang terus berusaha bahwa aku tidaklah seperti orang yang selalu mengikuti kodrat semu. Setidaknya aku telah menjadi dalang untuk hidupku sendiri. Aku tak bergantung pada orang lain. Aku akan mempelajari alam dan mengatakan pada dunia bahwa aku adalah orang yang dapat mempercantik namaku dan memberikan roh baru untuk manusia dalam pikiran dan jiwa.
Air Muring, 13 Desember 2015 (Cerpen perbaikan smt 1)
Ditulis sebagai tugas praktik “memroduksi cerpen dengan tema yang sudah ditentukan guru yaitu kemandirian. Salam kreatif dari Penulis,
Mutiara Putri Pembayun
Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
CERPEN : "Hadiah Paling Berharga" PART 1 (Winda Mardian Putri, 2024)
Sore itu, matahari tersorot jelas memberikan cahayanya. Ditambah lagi dengan angin-angin yang menyambut setiap desakan panas yang menyingsing, terlihat seorang gadis kecil yang tengah m
JURNALISTIK : "MENGENAL LEBIH DEKAT PLG SEBELAT" (HERVINA FLORENSIA SIREGAR)
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orangdengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, ataumempelajari keun
SNBP 2024
Alhamdulillah 19 siswa smanju lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Jalur Prestasi. Berikut daftar siswanya :
CERPEN : "KEPULANGAN" (Carol Falia Dungus, 2023)
Hari ini sekolah ku sangat padat aku pulang tepat jam 7 malam .Aku melepas lelahku sepulang sekolah dengan berbaring di tempat tidur sembari bermain ponsel tanpa mengganti seragam sekol
Pawai Ta'aruf 1 Muharam (Tahun Baru Islam 1445 H) Tahun 2023
GEN Z SMAN 7 Bengkulu Utara Siap Hijrah Lebih Baik Alhamdulillah acara Pawai Ta'aruf 1 Muharam (Tahun Baru Islam 1445 H) berjalan lancar. Walau persiapan hanya 2 hari. Proses unt
CERPEN : "Semangat Terakhir" (Oleh : Samaria Priskila K. J)
Sepasang sepatu terlihat basah karena, hujan yang baru saja turun. Sudah satu jam Lori duduk di taman belakang sekolah, ia teringat dulu ketika sedang menunggu sahabatnya Luna.
TITI KARYATI, S.Pd
Teman-teman, yuk kita berkenalan lebih lanjut dengan salah satu tim pengajar di SMA kita. Ciri khas beliau adalah murah senyum dan humoris. Beliau tak lain dan tak bukan adalah Ibu TITI
Jurus-Jurus Menulis Puisi (Oleh Titi Karyati, S.Pd)
Mari berpuisi, ini dia jurus-jurusnya : Jurus Spionase Lakukan pengamatan secara jeli apa yang ada dan terjadi di sekitarmu.hasil pengamatan ini dapat menjadi sumber inspi
Cerita dari alumni terbaik Tahun 2017-2018 Usswatun Chasanah
Halo semuanya, Izinkan aku berbagi sedikit cerita hari ini, ya.. Cz it's the moment. Mungkin ini akan terdengar sedikit berlebihan, tapi inilah yang kurasakan.. Mungkin banyak juga
TITI KARYATI, S.Pd Kembara Smanju (Episode: Kandidat Doktor-DOSEN UNIB, dari Kabupaten Tetangga itu Alumni Smanju-ETIS SUNANDI)
Kembara Smanju (Episode: Kandidat Doktor-DOSEN UNIB, dari Kabupaten Tetangga itu Alumni Smanju-ETIS SUNANDI) Assalamualaikum.... Semoga kesehatan dan keberkahan selalu