• SMAN 7 BENGKULU UTARA

  • Jl Raya Desa Pasar Baru Kota Bani, Putri Hijau, Bengkulu Utara

CERPEN "BAYANG-BAYANG DI ANTARA KITA (SUCI WULANDARI, XII IPA 3)"

 

Tema:

  1. Pencarian identitas
  2. Moralitas dan etika
  3. Kesehatan mental

 

 

 Senja terpancar dengan lembut di atas taman kota. Lili duduk sendiri di bangku kayu, matanya tertuju pada langit yang mulai berubah warna, seolah mendikte suasana hatinya yang semakin gelap. Anak-anak berlarian dengan tawa lepas di hadapannya, tanpa beban, tanpa kebingungan tentang masa depan atau siapa mereka. Lili, di sisi lain, justru terjebak dalam kebingungan yang kian menekan dirinya. Sudah berbulan-bulan Lili merasa hampa. Di tempat kerja, ia adalah bintang—perempuan yang berprestasi, selalu mencapai target dan memenuhi ekspektasi. Di rumah, ia adalah anak yang patuh, seseorang yang selalu menjadi kebanggaan keluarga. Namun, dalam setiap peran itu, ada bagian dirinya yang hilang. Siapa dirinya di luar dari semua itu? Setiap hari, ia berperan seperti aktor di panggung, tapi di balik semua itu, ia merasakan kehampaan yang tak terjelaskan. Suara langkah kaki terdengar mendekat, mengalihkan perhatian Lili dari lamunan panjangnya. Jean, sahabat lama yang selalu menjadi tempat ia berbagi kegelisahan, berjalan menghampirinya. Wajah Jean hari itu lebih kusut dari biasanya, senyumnya tak lagi sehangat dulu. "Kenapa kamu tiba-tiba ngajak ketemu?" tanya Jean langsung, tanpa basa-basi. Ia duduk di sebelah Lili, matanya menatap kosong ke arah yang sama, menghindari kontak mata. Lili menatap Jean dengan penuh kekhawatiran. "Kamu baik-baik saja? Kamu kelihatan beda." Jean terdiam beberapa saat, seolah menimbang apakah ia harus membuka diri. “Entahlah, Li. Aku mulai meragukan diriku sendiri. Pekerjaan ini... rasanya semakin menekan. Setiap hari aku menangani pasien, mendengarkan cerita mereka, memberikan terapi. Tapi belakangan ini, aku merasa seperti boneka sistem. Seperti semua yang aku lakukan tidak benar-benar memberikan perubahan.” Lili terkejut. Jean yang ia kenal adalah psikiater yang hebat, penuh empati, dan selalu tahu bagaimana cara membantu orang lain. Melihatnya goyah seperti ini membuat Lili menyadari betapa rumitnya masalah yang dihadapi Jean. “Kamu merasa terjebak, ya?” Lili mencoba membaca lebih dalam. Jean tertawa kecil, meski nada suaranya terdengar getir. “Iya, aku terjebak. Sistem kesehatan mental kita, Li, rasanya lebih seperti industri daripada pelayanan. Semuanya tentang diagnosis, protokol, terapi—tapi di balik semua itu, aku takut kami kehilangan sentuhan manusia. Aku mulai bertanya-tanya apakah aku benar-benar membantu pasien atau hanya mengikuti alur yang sudah ditetapkan. Dan itu... mulai mengganggu moralitasku.” Lili terdiam. Ia bisa merasakan keresahan Jean, sesuatu yang sangat pribadi namun juga relevan dengan pekerjaannya. Di dunia yang semakin berorientasi pada hasil, seringkali kita lupa bahwa yang paling penting adalah manusia di balik angka dan prosedur. Malam itu, setelah pertemuan dengan Lili, Jean kembali ke kliniknya. Klinik yang biasanya menjadi tempatnya merasa damai kini terasa dingin dan kosong. Poster motivasi yang terpasang di dinding tak lagi memberikan inspirasi. Di ruang konselingnya, Jean duduk, memandangi daftar pasien yang menunggu giliran untuk konsultasi keesokan harinya. Nama-nama yang tidak asing lagi baginya: Peony, Bagus, Aru, dan banyak lainnya. Peony, pasien yang paling sering datang akhir-akhir ini, selalu datang dengan cerita yang sama. Depresi berat, rasa rendah diri, dan ketergantungan emosional yang semakin lama membuat Jean merasa... terjebak. Peony semakin tergantung pada setiap kata yang keluar dari mulut Jean. Bukan hanya saran, tapi validasi atas semua keputusan hidupnya. Hal ini membuat Jean merasa tidak nyaman. Keesokan harinya, Peony datang tepat waktu. Ia duduk di kursi berhadapan dengan Jean, seperti biasa, dengan tatapan yang kosong. Kali ini, ia tampak lebih gelisah dari biasanya.

“Dok, aku tidak tahu lagi harus bagaimana,” Peony membuka sesi dengan suaranya yang gemetar. “Aku sudah mencoba semua yang Dokter katakan, tapi semuanya tetap tidak berubah. Aku tetap merasa kosong.” Jean menatap Peony dalam-dalam. Ada sesuatu yang salah, bukan hanya dengan Peony, tapi dengan cara ia sendiri menangani pasiennya. “Peony, apakah kamu pernah merasa seperti... kamu bergantung pada apa yang aku katakan?” Peony menatap Jean dengan ekspresi bingung. “Maksud Dokter?” Jean menarik napas panjang. “Aku ingin tahu, Peony. Apakah kamu merasa terlalu mengandalkan diriku dalam membuat keputusan? Apakah kamu pernah merasa bisa mengambil langkah tanpa harus bertanya padaku dulu?” Peony terdiam lama. Jean bisa melihat kegalauan di wajahnya. “Aku tidak tahu, Dok. Sejujurnya, aku merasa lebih aman ketika tahu apa yang harus aku lakukan dari Dokter.” Kata-kata itu menusuk hati Jean. Ia menyadari bahwa alih-alih membimbing Peony untuk menjadi mandiri, ia mungkin telah menciptakan ketergantungan emosional yang tidak sehat. Ini bertentangan dengan segala sesuatu yang ia yakini tentang moralitas profesi ini. Beberapa hari kemudian, Jean mendapatkan panggilan dari rumah sakit. Peony, yang sebelumnya menunjukkan tanda-tanda perbaikan, tiba-tiba dirawat di ruang gawat darurat setelah mencoba bunuh diri. Jean bergegas menuju rumah sakit dengan perasaan bersalah yang menggelayut. Sesampainya di sana, ia berhadapan dengan orang tua Peony yang penuh kekecewaan dan kebingungan. “Apa yang terjadi? Bagaimana bisa ini terjadi?” tanya ibunya dengan suara serak. Jean tidak memiliki jawaban. Segala prosedur yang ia jalani dengan Peony selama ini terasa sia-sia. Semua terapi, semua sesi konseling, semuanya tak mampu menahan Peony dari jurang kehancurannya sendiri. Setelah berbicara dengan dokter yang menangani Peony, Jean mendapati dirinya berdiri di lorong rumah sakit, merasakan beban moral yang berat di pundaknya. Ia tidak hanya gagal membantu Peony, tapi juga merasa bahwa sistem yang ia ikuti selama ini turut menyumbang pada kehancuran ini. Lili, yang mendapat kabar dari Jean, segera datang untuk menemaninya. Mereka berdua duduk di bangku rumah sakit, terdiam dalam keheningan yang memekakkan telinga. “Aku merasa gagal, Li,” Jean akhirnya berbicara, suaranya terdengar patah. “Aku merasa seperti aku ini hanya bagian dari sistem yang tidak manusiawi. Aku tidak bisa menyelamatkan Peony. Aku terlalu fokus pada prosedur, pada diagnosa, dan lupa bahwa dia manusia.” Lili menatap Jean dengan penuh simpati. “je, kita semua bisa terjebak dalam sistem. Tapi itu bukan berarti kamu tidak berusaha. Terkadang, kita memang tidak bisa menyelamatkan semua orang.” “Tapi itu tidak cukup. Aku harus bisa lebih dari sekadar mengikuti aturan. Aku harus bisa mendobrak batasan yang ada kalau itu artinya aku bisa benar-benar membantu seseorang.” Jean memutuskan untuk mengambil cuti. Ia merasa perlu untuk menjauh dari pekerjaannya sejenak, dari klinik, dari pasien-pasien yang terus datang mencari jawabannya. Lili mendukung keputusannya, meski tahu bahwa ini hanya langkah sementara. Malam itu, Jean duduk di apartemennya, memandang layar komputer yang terbuka di depannya. Di layar itu, terdapat berbagai artikel tentang pendekatan kesehatan mental yang lebih humanis—pendekatan yang lebih fokus pada memperkuat individu, bukan hanya menambal luka mereka. Jean merasa ada sesuatu yang harus ia lakukan. Tapi di mana ia harus memulai? Dalam pencariannya, ia menemukan komunitas kecil dari psikiater dan terapis yang mengusung pendekatan tidak seperti praktik biasanya terhadap kesehatan mental. Mereka tidak hanya mematuhi protokol medis, tetapi juga berusaha memahami pasien mereka secara

 

 

 

 

keseluruhan—sebagai manusia dengan kompleksitas emosi, sejarah, dan latar belakang yang berbeda. Jean bergabung dengan komunitas itu, dan di sanalah ia menemukan kembali semangat yang hampir padam. Mereka berdiskusi, berbagi pengalaman, dan mengkritisi sistem yang ada. Mereka tidak takut berbicara tentang moralitas, etika, dan keadilan dalam dunia kesehatan mental. Setelah beberapa bulan refleksi dan belajar dari komunitas baru, Jean memutuskan untuk kembali bekerja. Tapi kali ini, ia melakukannya dengan cara yang berbeda. Ia mendekati pasien dengan lebih sabar, lebih mendalam, dan lebih mendengarkan daripada sebelumnya. Ia tidak lagi terburu-buru memberikan solusi atau mengikuti protokol yang kaku. Ia belajar untuk membantu pasien menemukan kekuatan dalam diri mereka, alih-alih bergantung padanya. Lili, yang terus berada di sisi Jean selama masa perubahan ini, sering datang ke kliniknya. Ia penasaran melihat perubahan dalam cara Jean menangani pasien. Kini, sesi-sesi konseling lebih banyak diisi dengan refleksi mendalam daripada jawaban cepat. Jean tidak lagi memberikan nasihat seperti guru yang tahu segalanya; ia lebih sering menanyakan pertanyaan yang mendorong pasien untuk berpikir sendiri, mencari jawaban dari dalam diri mereka. Suatu hari, Peony kembali. Kali ini, ia terlihat lebih tenang, meski masih ada jejak trauma di matanya. Jean menerima Peony dengan lembut, memberinya ruang untuk bercerita tanpa tekanan. “Aku merasa lebih baik sekarang, Dok,” kata Peony pelan. “Tapi aku juga sadar bahwa aku harus mencari kekuatan dari diriku sendiri, bukan dari orang lain. Aku tahu, selama ini aku terlalu bergantung padamu.” Jean tersenyum, lega. “Aku bangga kamu bisa menyadarinya, Peony. Itu langkah besar.” Peony terdiam sejenak, sebelum akhirnya bertanya dengan ragu, “Dok, apakah aku boleh terus datang ke sini? Aku takut kalau aku berhenti, aku akan jatuh lagi.” Jean memandang Peony dalam-dalam, lalu menjawab dengan bijak, “Kamu selalu boleh datang, Peony. Tapi ingat, aku bukan penopang hidupmu. Kamu yang mengendalikan jalanmu. Aku hanya ada di sini untuk mengingatkan, bahwa kekuatan itu sebenarnya sudah ada di dalam dirimu.” Peony tersenyum tipis, dan Jean tahu bahwa kali ini, perubahan itu nyata. Ia tidak hanya memperbaiki Peony secara sementara, tetapi juga membantu membentuk landasan yang lebih kokoh untuk masa depannya. Sementara itu, pergulatan batin Lili tentang identitasnya sendiri belum selesai. Setiap hari, ia merasa semakin terasing dari peran-perannya. Ketika bekerja, ia sering merasa seperti robot yang menjalankan tugas-tugas tanpa makna, hanya untuk memenuhi target yang tak pernah berakhir. Di rumah, ia merasa terbebani oleh ekspektasi orang tua yang terus menumpuk. Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarganya, Lili mengunci diri di kamar. Ia memandangi dirinya di cermin, mencari sosok yang ia rasakan hilang. Wajah yang memandang balik padanya adalah wajah yang dikenalnya seumur hidup, tetapi ia tidak lagi merasa itu adalah dirinya yang sebenarnya. Lili merasa seperti berada di persimpangan jalan. Apakah ia harus terus hidup memenuhi ekspektasi orang lain? Ataukah ia harus mulai mencari apa yang benar-benar membuatnya bahagia? Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya, dan untuk pertama kalinya, Lili merasa bahwa ia tidak bisa melarikan diri lagi. Keesokan harinya, Lili mengunjungi Jean di kliniknya, bukan sebagai teman yang mendukung, tetapi sebagai seseorang yang membutuhkan bantuan. Setelah bertahun-tahun menahan diri, Lili akhirnya berani untuk mengakui bahwa ia sendiri juga terjebak dalam konflik internal yang tidak mudah diurai. Jean menyambutnya dengan tenang. Mereka duduk berhadapan di ruang konseling yang pernah terasa dingin, namun kini tampak lebih hangat. Lili mulai bercerita tentang perasaan asingnya terhadap hidupnya sendiri, tentang peran-peran yang ia jalani tanpa merasa menjadi bagian dari dirinya.

 

"Aku tidak tahu siapa aku sebenarnya," ucap Lili suaranya bergetar. "Semua ini... sepertinya hanya topeng yang aku kenakan setiap hari. Aku hanya menjalani harapan orang lain. Tapi, apa yang aku inginkan? Aku bahkan tidak tahu." Jean mendengarkan dengan saksama, menyadari bahwa sahabatnya telah menahan beban ini begitu lama. Ia tahu betapa sulitnya berada di titik di mana Lili berada sekarang, di mana pencarian identitas terasa seperti pencarian tanpa akhir. “Kamu sedang berada di titik yang penting, Li,” kata Jean lembut. “Ini mungkin terasa menyakitkan, tapi di sinilah kamu akan mulai menemukan jawaban. Pertanyaannya bukan lagi siapa yang ingin orang lain lihat dalam dirimu, tapi siapa yang sebenarnya ingin kamu lihat dalam dirimu sendiri.” Lili terdiam, merenungkan kata-kata Jean. Ia tahu bahwa mencari jati diri bukanlah sesuatu yang bisa dilakukan dalam semalam, tapi ia merasa bahwa ini adalah awal dari sebuah perjalanan baru. Beberapa bulan berlalu sejak Lili memulai pencariannya akan jati diri. Ia mulai mengambil langkah kecil untuk lebih memahami apa yang benar-benar diinginkannya dalam hidup. Perlahan, ia belajar melepaskan harapan orang tua yang selama ini membebani dirinya. Ia mencoba mengeksplorasi minat dan passion yang pernah ia tinggalkan karena tuntutan pekerjaan. Suatu hari, saat sedang berjalan-jalan di tepi kota, Lili menemukan sebuah galeri seni kecil. Rasa penasaran membawanya masuk ke dalam. Di dalam galeri itu, ia melihat berbagai lukisan yang menggambarkan emosi yang begitu dalam—kebahagiaan, kesedihan, keraguan, dan harapan. Lili merasa terhubung dengan setiap lukisan yang ia lihat, seolah-olah setiap karya seni itu menggambarkan bagian dari dirinya yang belum pernah ia ungkapkan. Di sana, ia bertemu dengan seorang seniman tua bernama Pak jojo, yang mengelola galeri tersebut. Mereka berbincang tentang seni, kehidupan, dan pencarian makna. Pak jojo menceritakan kisah hidupnya, tentang bagaimana ia pernah merasa tersesat dalam hidupnya, sampai akhirnya ia menemukan pelarian dalam melukis. “Melukis adalah caraku berbicara dengan diriku sendiri,” kata Pak Jojo. “Ketika dunia terasa begitu membingungkan, aku menemukan jawaban di atas kanvas.” Kata-kata itu menghantam Lili dengan cara yang tidak pernah ia duga. Mungkin, selama ini, ia tidak pernah memberi dirinya ruang untuk berbicara dengan dirinya sendiri. Ia terlalu sibuk menjadi orang lain, hingga lupa untuk mendengarkan apa yang sebenarnya ia butuhkan. Di galeri itu, Lili merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—kedamaian. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa tidak perlu menjadi seseorang yang sempurna atau memenuhi harapan orang lain. Ia hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dengan dorongan dari pengalaman di galeri itu, Lili mulai mengeksplorasi hal-hal baru dalam hidupnya. Ia mengikuti kursus melukis, sesuatu yang selalu ia sukai sejak kecil namun selalu ia abaikan. Melalui seni, Lili menemukan cara untuk mengekspresikan perasaannya yang selama ini terpendam. Setiap goresan di kanvas adalah bagian dari dirinya yang ia lepaskan—keraguan, ketakutan, dan kebingungan. Di sisi lain, Jean juga terus menemukan keseimbangannya dalam profesi. Ia mulai menyatukan pendekatan baru dalam praktek terapinya, lebih fokus pada memperkuat kemandirian pasien daripada hanya memberikan solusi sementara. Ia juga menjadi lebih selektif dalam mengambil pasien, memastikan bahwa ia benar-benar bisa membantu tanpa menciptakan ketergantungan. Pada akhirnya, baik Jean maupun Lili menyadari bahwa perjalanan mereka mencari jati diri, moralitas, dan makna hidup tidak akan pernah benar-benar selesai. Setiap hari adalah kesempatan baru untuk belajar lebih banyak tentang diri sendiri, untuk merangkul ketidaksempurnaan, dan untuk menemukan kedamaian dalam ketidakpastian. Mereka tidak lagi merasa terjebak oleh harapan orang lain atau terikat pada peran-peran yang selama ini mereka mainkan. Kini, mereka berjalan di jalan yang mereka pilih sendiri—jalan yang mungkin masih penuh dengan tantangan, tapi juga dengan kebebasan dan kebenaran.

 

 

 

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
CERPEN "YANG TERLUPAKAN" (SUCI WULANDARI)

Menjalani sebuah kehidupan tak harus selalu sempurna memiliki sebuah kekurangan adalah hal yang biasa dan wajar seperti Sawala yang pandai dalam bahasa asing dan yang mana Sawala sangat

06/12/2024 10:53 - Oleh Administrator - Dilihat 4 kali
CERPEN : "Hadiah Paling Berharga" PART 1 (Winda Mardian Putri, 2024)

Sore itu, matahari tersorot jelas memberikan cahayanya. Ditambah lagi dengan angin-angin yang menyambut setiap desakan panas yang menyingsing, terlihat seorang gadis kecil yang tengah m

05/08/2024 09:08 - Oleh Administrator - Dilihat 269 kali
JURNALISTIK : "MENGENAL LEBIH DEKAT PLG SEBELAT" (HERVINA FLORENSIA SIREGAR)

Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orangdengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, ataumempelajari keun

13/06/2024 11:56 - Oleh Administrator - Dilihat 353 kali
SNBP 2024

Alhamdulillah 19 siswa smanju lolos Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Jalur Prestasi. Berikut daftar siswanya :

30/04/2024 09:25 - Oleh Administrator - Dilihat 329 kali
CERPEN : "KEPULANGAN" (Carol Falia Dungus, 2023)

Hari ini sekolah ku sangat padat aku pulang tepat jam 7 malam .Aku melepas lelahku sepulang sekolah dengan berbaring di tempat tidur sembari bermain ponsel tanpa mengganti seragam sekol

06/09/2023 08:45 - Oleh Administrator - Dilihat 1024 kali
Pawai Ta'aruf 1 Muharam (Tahun Baru Islam 1445 H) Tahun 2023

GEN Z SMAN 7 Bengkulu Utara Siap Hijrah Lebih Baik Alhamdulillah acara Pawai Ta'aruf 1 Muharam (Tahun Baru Islam 1445 H) berjalan lancar. Walau persiapan hanya 2 hari. Proses unt

27/07/2023 12:06 - Oleh Administrator - Dilihat 695 kali
CERPEN : "Semangat Terakhir"  (Oleh : Samaria Priskila K. J)

  Sepasang sepatu terlihat basah karena, hujan yang baru saja turun. Sudah satu jam Lori duduk di taman belakang sekolah, ia teringat dulu ketika sedang menunggu sahabatnya Luna.

13/06/2023 11:31 - Oleh Administrator - Dilihat 824 kali
CERPEN : "Segumpal Kapuk Kebahagiaan" (Mutiara Putri Pembayun)

  Namaku Irah. Aku adalah gadis berusia 14 tahun. Gen ibu mengalir dalam tubuhku. Jika dibandingkan dengan anak seumuran denganku, aku termasuk anak dengan badan tinggi. Rambutku

31/05/2023 10:04 - Oleh Administrator - Dilihat 1585 kali
TITI KARYATI, S.Pd

Teman-teman, yuk kita berkenalan lebih lanjut dengan salah satu tim pengajar di SMA kita. Ciri khas beliau adalah murah senyum dan humoris. Beliau tak lain dan tak bukan adalah Ibu TITI

22/05/2023 09:53 - Oleh Administrator - Dilihat 609 kali
Jurus-Jurus Menulis Puisi (Oleh Titi Karyati, S.Pd)

Mari berpuisi, ini dia jurus-jurusnya : Jurus Spionase   Lakukan pengamatan secara jeli apa yang ada dan terjadi di sekitarmu.hasil pengamatan ini dapat menjadi sumber inspi

11/04/2023 11:05 - Oleh Administrator - Dilihat 373 kali